Soal Larangan Impor Pakaian Bekas, Pebisnis Thrifting Surabaya Bersuara

Surabaya – Kementerian Perdagangan telah melarang masyarakat mendatangkan atau impor pakaian bekas. Hal itu telah termaktub dalam Permendag No 40/2022 tentang Perubahan atas Permendag No 18/2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.
Kebijakan itu menuai sejumlah komentar dari khalayak. Termasuk para penggila dan pelaku usaha thrifting. Salah satunya adalah Pratomo.
Kendati bukan importir pakaian bekas dalam jumlah besar, Pratomo mengaku mendukung upaya pemerintah melarang impor pakaian bekas. Menurut Pratomo, thrift yang sebenarnya bukanlah menjual pakaian bekas dari luar, melainkan kolpri atau koleksi pribadi.
“Aku bukan pelaku usaha thrift yang gede lho yaa, aku lebih kepada kolpri, bukan barang bal,” kata Pratomo kepada BekasiBusiness, Jumat (17/3/2023).
Meski sebagai pedagang pakaian bekas atau kolpri, ia pun mengkritik para pelaku usaha serupa yang dinilai ngawur. Mulai dari menjual dengan banderol di atas harga pasar, asal-asalan, hingga dianggap merugikan negara.
“Tapi memang dunia thrift itu ngawur juga pelakunya, terutama masalah harga. Tapi, di Surabaya rata-rata ya mereka beli paketan usaha, bukan pengepul bal yang asli dari sumbernya,” imbuhnya.
Pratomo menegaskan ada 2 daerah yang menjadi distributor thrift di Indonesia yang disuplai ke kota pahlawan, yakni Sumatra dan Kalimantan. Menurutnya, 2 daerah itu kerap menjadi distribusi bal (sebutan untuk sekarung pakaian bekas) langsung dari negara lain.
“Lah mereka dibeli oleh tengkulak-tengkulak se-Indonesia raya, dengan kode negara masing masing, seperti kaus, tas, sampai sepatu. Makanya, di sini (Surabaya) mau up (menaikkan harga) nggak bisa laku keras. Apalagi ada beberapa thrift yang mereka komparasi dengan harga e-bay, tambah nggak masuk akal,” ujarnya.
Hal senada disampaikan pelaku thrift lainnya, yakni Windy Tiana. Ia mengaku setuju dengan kebijakan pemerintah memberlakukan larangan impor baju bekas.
“Ya setuju aja, karena sebetulnya yang dilarang kan kegiatan impornya, mendatangkan dari luar ke Indonesia,” tuturnya.
Tiana mengatakan orang awam tentu tahu bila baju impor datang dalam kondisi yang kotor, belum dibersihkan, bekas dipakai, sampai bisa menularkan penyakit. Namun, pemerintah tak mencantumkan perihal larangan penjualan baju bekas di dalam negeri.
“Misalnya, saya lagi mengeluarkan baju-baju bekas dan saya jual dan dalam kondisi layak (tidak kusam, tidak robek, sampai berfungsi dengan baik). Maka, sah-sah saja baju bekas itu dijual kembali, karena kondisi masih sangat layak dan nilai jual masih tinggi karena adanya brand tertentu,” katanya.
“Karena sekali lagi, yang diatur dan dilarang pemerintah itu kan mendatangkan baju bekas dari luar negeri, tapi bisnis baju bekasnya kan gak dilarang,” sambungnya.
Ia mengklaim dan menyetujui hal itu lantaran ia mengaku pernah mengalaminya sendiri. Tiana menegaskan pernah tahu dan mengalami bila ada pelaku thrifting yang mendatangkan baju ber bal-bal.
Saat tiba, kemudian di cek 1 bal baju itu. Isinya, tak sesuai ekspektasi dan didominasi pakaian tak layak pakai.
“Mungkin, cuma 30%, sisanya benar-benar cuma kayak gombal gitu lah, secara bahan bener-benar sudah gak bisa di apa-apain,” ujar dia.
Oleh karena itu, ia memberikan gambaran atau tujuan thrift bukanlah membeli pakaian bekas lalu dijual lagi dengan harga selangit. Melainkan, memanjangkan usia pakaian yang masih layak pakai, branded, hingga tak menularkan penyakit kepada konsumen.
“Tujuan thrifting itu mulia loh, salah satunya memperpanjang usia pakaian. Jadi ,tidak lagi ada fast fashion, yang artinya baju-baju diproduksi dengan murah dan bahan seadanya. Nah tujuannya thrifting kan mencegah itu supaya baju-baju seperti itu tidak diproduksi secara murah dengan bahan yang bisa mengiritasi kulit,” tutur dia.
Maka dari itu, Tiana menyoroti perihal longlasting pakaian bekas dari kolpri. Menurutnya, bisa dipakai dan layak, serta mencegah limbah tekstil.
“Di tahun 2030, limbah tekstil di indonesia diprediksi ada 3.5 juta ton. Bayangkan, limbah tekstil paling sulit diuraikan karena kita tahu tekstil yang dipakai itu kan gak semuanya berbahan katun, ada campuran plastik dan mikro plastik, nah sulit mendaur ulangnya,” tutupnya.